Perjodohan

Perjodohan adalah satu satu langkah untuk menjajaki sebuah hubungan menuju pernikahan. Allah ta’ala mensyariatkan nikah dalam firmanNya,

Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kalian sukai.” (QS. An-Nisa : 3)

Sebagaimana juga hukum pernikahan dalam suatu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Nikah itu adalah sunnahku, maka siapa yang meninggalkan sunnahku maka ia bukan umatku.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan adanya dua ketentuan ini maka, menikah merupakan sebuah sunnah bagi semua umat muslim dalam dan yang menjadi tujuan pernikahan dalam Islam adalah dapat mencapai kesempurnaan iman. Dan untuk mencapai hal tersebut tentu diperlukan sebuah usaha. Sebagaimana firman Allah SWT :

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [Ar-Ra’d/13:11].

Generasi zaman now menganggap peejodohan merupakan sebuah tembok, padahal jika dimaknai lebih dalam, jodoh yang dipilihkan orang tua cenderung sudah pasti memiliki bibit, bebet, dan bobotnya. Akan tetapi masalah perjodohan ini, terutama dalam pandangam islam merupakan salah satu cara untuk menghindarkan diri dari perbuatan maksiat.

Sebagaimana kita tahu bahwa dalam proses perjodohan akan dilewati proses ta’aruf dan juga tips ta”aruf dalam Islam yang merupakan cara perkenalan lebih jauh antara laki-laki dan perempuan untuk bisa saling mengenal lebih dalam.

Meskipun terkandung nilai kebaikan dan cinta menurut Islam didalamnya, namun tentunya menolak sebuah perjodohan juga memiliki hukumnya. Dalam hal ini, akan dibahas secara lengkap dalam poin berikut hukum menolak perjodohan dalam islam yang wajib diketahui. Simak selengkapnya.

Hukum Menolak Perjodohan Dalam Islam

Mencari jodoh dalam islam bukanlah diibaratkan seperti “Membeli kucing dalam karung”. Islam juga telah memberikan aturan yang jelas, dalam mengatur tata cara dan syarat pernikahan dalam islam . Salah satunya adalah adanya keridhaan dari masingmasing calon mempelai. Karenanya dalam masalah perjodohan jika ada unsur paksaan terhadapa salah satu pihak,  maka status pernikahan yang akan dilakukan di kemudian hari tidaklah sah.

Karenanya bagi kedua belah pihak harus ditanya terlebih dahulu kesediaanya. Sebagaimana Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAWbersabda:

Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya? Beliau menjawab, Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)

Zaman dahulu sebelum islam masuk, seorang wanita tidak dapat menolak atau memilih satu lamaran yang diajukan dan dijodohkan oleh walinya. Namun, setelah syiar Islam masuk, Allah SWT memuliakan wanita untuk memiliki hak penuh dalam memilih atau menolag lamaran yang datang atau telah dijodohkan padanya.

Imam Bukhari berkata, Isma’il memberitahu kami, dia berkata, Malik memberitahuku, dari ‘Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari ‘Abdurrahman dan Mujammi’, dua putra Yazid bin Jariyah, dari Khansa’ bin Khidam Al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha,

“Bahwa ayahnya pernah menikahkan dia -ketika itu dia janda- dengan laki-laki yang tidak disukainya. Maka dia datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk mengadu) maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam membatalkan pernikahannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5138).

Larangan memaksa ini bukan berarti para wali tidak memiliki andil dalam memilih calon suami atau istri bagi pihak yang mereka walikan. Justru dalam hal ini saran-satan yang baik wajib diberikan oleh wali dn kemudian menanyakan persetujuan bagi pihak yang bersngkutan.

Dalam mendapatkan izin dari yang bersangkutan atas persetujuaanya adalah ditunjukkan dengan, apabilah ia seorang janda maka ia mengucapkannya, dan apabila ia seorang perawan adalah diamnya.  Sebagaimana dijelaskan dalilnya di dalam hadits berikut.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seorang gadis yang akan dinikahkan oleh keluarganya, apakah perlu dimintai pertimbangannya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ya, dimintai pertimbangannya.”

Lalu ‘Aisyah berkata, maka aku katakan kepada beliau, “Dia malu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Demikianlah pengizinannya, jika ia diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain syarat sahnya pernikahan yang harus dipenuhi. Dalam hal perjodohan ini juga, kedua belah pihak harus memiliki rasa ketertarikan atau rasa suka atau cinta antara keduanya. Karena jika tidak ada unaur tersebut, maka bisa sipastikan bahwa kehidupan pernikahan kelak tidak akan harmonis dan bahagia. Seperti di ceritakan dalam sebuah kisah,  dari sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

Telah datang seorang gadis muda terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mengadu bahwa ayahnya telah menikahkanya dengan laki-laki yang tidak ia cintai, maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepadanya (melanjutkan pernikahan atau berpisah).” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Sesungguhnya perjodohan dalam islam mengatasnamakan dasar kerelaan antara kedua belah pihak. Karena bagaimanapun juga bahwa kelak dalam membangun rumah tangga tujuan utamana ialah untuk memperoleh  kebahagian di dunia dan akhirat.

Jangan sampai pada akhirnya rumah tangga yang dijalani malah akan menemui banyak permasalahan sehingga hanya akan ada rasa penyesalan pada akhirnya. Sebagaimana diceritakan dalam kisah berikut ini, Dari Abu Said Al-Khudri, beliau berkata:

Telah datang seorang laki-laki dengan membawa putrinya menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu laki-laki tersebut berkata: “Ya Rasul, Putriku ini menolak untuk dinikahkan.” Kemudian Rasulullah memberi nasihat kepada wanita itu: “Taati bapakmu.” Wanita itu mengatakan: “Aku tidak mau, sampai anda menyampaikan kepadaku, apa kewajiban istri kepada suaminya?.” (merasa tidak segera mendapat jawaban, wanita tersebut mengulangi ucapannya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Kewajiban istri kepada suaminya, andaikan di tubuh suaminya ada luka, kemudian istrinya menjilatinya atau hidung suaminya mengeluarkan nanah atau darah, kemudian istrinya menjilatinya, dia belum dianggap sempurna menunaikan haknya.”

Spontan wanita tersebut mengatakan: “Demi Allah, Dzat yang mengutus anda dengan benar, saya tidak akan nikah selamanya.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada ayahnya, “Jangan nikahkan putrimu kecuali dengan kerelaannya.” (HR. Ibn Abi Syaibah).

Kesimpulan dari pembahasan diatas adalah bahwa hukum menolak perjodohan dalam islam yang wajib diketahui ialah diperbolehkan. Karena untuk menggapai hubungan pernikahan yang sakinah, mawa’adah dan warohmah haruslah dilandasi dengan kerelaan, cinta dan tanpa adanya paksaan dari berbagai pihak.