REFORMASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (public reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.

Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.Oleh karena saya membuat makalah ini dengan judul “ Model Reformasi Pelayanan Publik ” ,dan diharapkan agar kita lebih memahami tentang Model Reformasi Pelayanan Publik tersebut.

Pelayanan publik diibaratkan sebagai sebuah proses, dimana ada orang yang dilayani, melayani, dan jenis dari pelayanan yang diberikan. Sehingga kiranya pelayanan publik memuat hal-hal yang subtansial yang berbeda dengan pelayanan yang diberikan oleh swasta. Pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi segala kebutuhan masyarakat, sehingga dapat dibedakan dengan pelayanan yang dilakukan oleh swasta (Ratminto, 2006).

Namun, dalam perjalanannya ternyata pelayanan publik menemui berbagai macam rintangan yang menghadang. Salah satunya adalah paradigma birokrasi yang cenderung untuk minta dilayani ketimbang melayani. Hal tersebut mengakibatkan berbagai persoalan (Singgih Wiranto,2006) seperti berbelit-belit, tidak efektif dan efisien, sulit dipahami, sulit dilaksanakan, tidak akurat, tidak transparan, tidak adil, birokratis, tidak profesional, tidak akuntabel, keterbatasan teknologi, keterbatasan informasi, kurangnya kepastian hukum, KKN, biaya tinggi, polarisasi politis, sentralistik, tidak adanya standar baku dan lemahnya kontrol masyarakat. Sedangkan telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dimana rakyat atau warga Negara adalah focus dari pelayanan.

Dengan diberlakukannya pelayanan satu tempat atau One Stop Service (OSS) apakah telah dapat memperbaiki kualitas pelayanan terhadap perizinan. Seperti yang kita ketahui bahwa dengan adanya sistem OSS tersebut tidak serta merta masalah pelayanan perizinan yang berbelit-belit dan panjang akan terhapus. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan.

  1. terkadang isntitusi-institusi yang digabungkan dalam dalam satu kantor bukan berarti pemangkasan birokrasi. Publik harus tetap melalui meja-meja yang “sama” dengan sbelumnya. Bedanya jika dulu “meja-meja” lokasinya berbeda sekarang “jadi satu kantor “.
  2. Orang-orang yang berada dikantor pelayanan satu atap yang “mewakili” institusinya tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menetapkan keputusan yang mendesak dalam hal pelayanan. Sehingga lagi-lagi si “publik” harus menunggu atasan “pelayan” dikantor tersebut, dalam memeberikan keputusan. Sehingga kantor inipun gagal mencapai tujuan awal yaitu efisiensi (Indiahono,2006).

Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa OSS saja tanpa memaknainya malah akan menambah masalah bagi daerah terutama untuk Banyumas. KPPI sendiri adalah sebuah badan untuk meng-acc hal-hal yang telah dibuat oleh dinas atau badan lain.sebagai contoh (Suara Merdeka,2005) adalah pada tahun 2005 Pertumbuhan investasi di Banyumas beberapa tahun terakhir ini tergolong pesat. Pada tahun ini sampai Juni lalu, investasi di sektor perdagangan, jasa, dan properti dari investor lokal dan luar daerah yang bergulir Rp 64 miliar.

Angka itu dihitung berdasar pengajuan izin gangguan lingkungan ke Kantor Pelayanan Perizinan dan Investasi (KPPI) serta telah mengantongi SIUP dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Dinas Koperasi dan UKM. Dengan adanya pelayanan yang sangat banyak untuk mendirikan usaha seperti contoh di atas dalam hal ini berarti OSS belum bias maksimal mengingat beberapa pelayanan masih di urusi oleh dinas/kantor/lembaga lain selain KPPI.

Persoalan pun bukan hanya itu saja, melainkan masih banyak yang harus dibenahi karena untuk menjadi yang terbaik harus dimulai dari kita sendiri dalam hal ini inisiatif dari dalam lembaga. Komitmen dari KPPI sendiri menjadi sebuah makanan yang harus ditelan dan dicerna. Komitmen tersebut dapat dilihat dari kesesuaian antara peraturan dan kondisi lapangan. Banyak dari dinas/kantor/lembaga pemerintah yang mengindahkan hal tersebut. Akhirnya kepastian waktu penyelesaian dan biaya menjadi tidak jelas.

Hal seperti itu harus diantisipasi sejak dini mengingat rakyat masih membutuhkan pelayanan yang baik yang diberikan oleh pemerintah karena pemerintah memonopoli pelayaan yang menyangkut rakyat banyak. Komitmen dalam melayani telah berhasil dibuktikan oleh pemerintah Kabupaten Purbalingga yang mendapat sertifikasi ISO 9001:2000 yang merupakan manajemen mutu pelayanan (Suara Merdeka,2006). Dapatkah pemerintah Banyumas menerapkan sistem yang sama atau malah lebih hebat dari Purbalingga? Kita tunggu aksinya.

Sebuah alternative yang dapat dilakukan untuk berbenah bagi KPPI adalah penggunaan sebuah sistem yang menggunakan partisipasi masyarakat sehingga pelayanan akan berada pada dua arah. Antara pelanggan dan yang melayani. Dalam berbagai referensi sistem itu disebut Citizen Charter atau Service Charter.

Istilah Citizen Charter (CC)atau kontrak pelayanan pertama kali diperkenalkan oleh Osborne dan Plastrik (1997). Citizen Charter (CC) adalah standar pelayanan yang ditetapkan berdasarkan aspirasi dari pelanggan, dan birokrasi berjanji untuk memenuhinya. Citizen Charter (CC) merupakan sebuah pendekatan dalam menyelenggarakan pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan atau pelanggan sebagai pusat perhatian. Dalam hal ini, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pelayanan (AG. Subarsono,2006)

Dengan kontrak pelayanan berarti ada sebuah komitmen antara pelanggan dan yang melayani. Dalam hal ini akan ada sebuah kesepakatan baik itu mengenai pelayanan, prosedur, waktu penyelesaian, maupun biaya yang ditanggung oleh pelanggan. Dengan demikian ada sebuah kesepahaman antara hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.

Sumber; http://lussychandra.blogspot.com/2013/05/makalah-reformasi-pelayanan-publik.html