SYEIKH SUFI AHMAD AR-RIFA’I KE 1 : MUSIBAH BATIN ITU HIJAB

Musibah Batin itu Hijab 
Syeikh Ahmad ar-Rifa’y (PENGASAS TAREKAT RIFAIYYAH)

Sesungguhnya Nabi saw, bersabda:
“Perbuatan-perbuatan baik bisa menjaga serangan keburukan, dan sesungguhnya sedekah rahasia itu bisa meniup api amarah Tuhan, dan sebenarnya sillaturrahim itu menambah usia dan menghapus kemiskinan.” (Hr Thabrani)

Dalam hadits yang mulia ini ada pelajaran aklaq mulia, dimana kaum arifin membubung menuju Rabbnya. Sebab asas dari ma’rifat adalah Makarimul Akhlaq (semulia-mulianya akhlaq), sedangkan akhlaq buruk, adalah – na’udzubillah – adalah wujud terhijabnya rahasia batin dari Allah Ta’ala.

Anak-anakku sekalian. Diantara musibah rahasia batin terbesar adalah terhijabnya kita dari Allah SWT. Maka siapa pun yang mendapatkan musibah seperti, pada dasaranya ia telah menggabungkan musibah-musibah lainnya. Sang pecinta itu senantiasa mabuk Ilahi, sang pemabuk tak akan merasakan derita musibah ketiba mabuk , baru disaat sadar merasakan deritanya.

Musibah terhijab dari Allah swt tak bisa diganti atas kehilangannya selamanya, kecuali dengan menepiskan segala hal selain Allah swt, dari rahasia batin kita. Tak ada ancaman lebih serius di dalam Al-Qur’an dibanding ayat ini:
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.”

Betapa banyak orang yang taat tetapi terhijab dari Yang Ditaati (Allah swt.). Betapa banyak orang yang dapat nikmat tapi terhijab dari Sang Pemberi nikmat. Betapa banyak orang yang tidur, diberi rizki kesadaran bangun ketika ia sedang tertidur. Betapa banyak orang yang sadar tertidur justru setelah ia bangun. Betapa banyak orang yang pendosa, justru diberi rizki kewalian dan meraih derajat Abrar. Betapa banyak orang zuhud yang gugur dari wilayahnya, dan menempuh jalan pendosa.

Hijab Itu Siksa Jauh Dari Allah SWT

Betapa banyak ahli amal yang terhijab gara-gara melihat amalnya, jauh dari memandang anugerah Allah swt, hingga matahatinya buta, lalu ia terlempar jauh, sementara ia menduga dirinya telah sampai (wushul) kepada Allah swt. Dan tidak ada yang lebih mengerikan dimata orang arif disbanding hijab itu sendiri, walau sekejab mata. Padahal siksa Allah swt, terbesar pada hamba adalah Hijab dan Terjauhkan dariNya.

Salah seorang hamba Allah swt, dikisahkan sedang bermunajat:
“Oh, Tuhanku, sampaikan kapan aku maksiat kepadaMu, sedangkan Engkau tak pernah menyiksaku?”. Kemudian Allah swt, menurunkan wahyu kepada sorang Nabi di kala itu, “Katakan kepadanya: “Sampai kapankah Aku menyiksamu, sedangkan kamu tidak mengerti? Bukankah engkau telah Aku tutup dari kelembutan-kelembutan kebahagiaanKu? Bukankah Aku telah mengeluarklan kemanisan munajat kepadaKu dari hatimu?!”

Abu Musa ra, pelayan Abu Yazid ra, mengatakan, “Suatu hari Syeikh abu Yazid memasuki suatu kota, kemudian massa banyak datang berjubal mengikutinya. Ketika abu yazid melihat mereka dan berjubalnya mereka, beliau mengatakan. “Ya Allah aku mohon perlindungan kepadaMu dari terhijab padaMu karena mereka. Dan aku mohon perlindungan kepadaMu dari hijabMu atas mereka, karena gara-gara aku.”
Semoga Allah merahmatinya, betapa banyak kesadaran itu, dan betapa benarnya Abu Yazid dengan Tuhannya, betapa besarnya kasih saying Abu Yazid pada sahabat-sahabatnya kaum muslimin.Ia menginginkan kebajikan dan pandangan yang benar bagi mereka, sebagaimana pada dirinya.
Ingatlah! Hai orang yang bergaul dengan massa, dan massa yang fanatik kepada anda. Hati-hati! Betapa banyak ketukan-ketukan sandal di sekitar tokoh sirna dari kepalanya? Betapa banyak hilang agamanya? Ya Allah selamatkan, Ya Allah selamatkan!

Manusia terbagi menjadi empat golongan:

1. Ada orang yang yang hatinya memandang tajam, dengan pandangan cahaya yaqin atas rahasia ciptaanNya dan keparipurnaan KuasaNya.
2. Ada orang yang yang akalnya tajam, memandang dengan cahaya kecerdasannya pada janji dan ancamanNya.
3. Ada orang yang rahasia batinnya (sirr) tajam, memandang setiap saat dengan cahaya ma’rifat kepada Allah swt.
4. Ada orang yang dijadikan oleh Allah swt, tertutup, tidak sama sekali bisa memandang, dan inilah yang disebut dalam ayat: “Dan siapa yang buta mata hatinya di dunia ini, maka di akhirat lebih buta dan lebih sesat jalannya.”

Ingatlah:
• Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
• Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa.
• Ahli ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya.

Bila Allah swt, menghailangkan hijab-hijab ini, mereka akan memandang dengan mata cahaya menuju cahaya, maka pada saat itulah mereka terhijab dari segala hal selain Allah swt.
Siapa yang memandang pada gerak dan perbuatannya ketika taat kepada Allah ta’ala, pada saat yang sama ia telah terhijab dari Sang Empunya Gerak dan Perbuatan, dan ia jadi merugi besar.
Siapa yang memandang Sang Empunya Gerak dan Tindakan, ia akan terhijab dari memandang gerak dan perbuatannya sendiri, sebab ketika ia melihat kelemahannya dalam mewujudkan tindakan dan menyempurnakannya, ia telah tenggelam dalam anugerahNya.

Terkadang seseorang terhijab dari manisnya ibadah, melalui memandang ibadahnya. Terkadang seseorang terhijab dari kebenaran kehendak, karena memandang manisnya ekstase.

Terkadang seseorang terhijab dari memandang Allah swt, Sang Pemberi anugerah, karena memandang anugerah itu sendiri.

An-Nasaj ra, mengatakan:
– Siapa yang memandang dirinya dalam ibadahnya, berarti tidak bisa bersih dari ujub!
– Siapa yang mermandang makhluk, ia tak akan bersih dari riya’!
– Siapa yang memandang taatnya, tak akan bersih dari tipudaya!
– Siapa yang memandang pahala tak akan pernah bersih dari hijab!
– Siapa yang memandang Rabb Ta’ala, maka itulah berada dalam posisi yang benar di sisi Tuhan Diraja Yang Kuasa.”

Abu Bakr bin Abdullah ra mengatakan, “Siapa yang sibuk dengan nuansa hikmah dan rahasia-rahasianya, maka ia akan terhijab dari hakikatnya. Dan aku tak pernah diperlihatkan maksiat yang lebih bahaya ketimbang melupakan Allah swt. dan penggantungan hati pada selain Allah swt.”
“Setiap hasrat dan dzikir pada selain Allah Ta’ala adalah hijab antara dirimu dengan Allah swt.”

Dalam hadits disebutkan:
“Betapa banyak kebajikan yang dilakukan seseorang yang tak ada keburukan baginya, justru lebih berbahaya padanya disbanding keburukan itu sendiri. Dan betapa banyak keburukan yang dilakukan seseorang yang tak ada kebajikan padanya, justru lebih bermanfaat padanya dibanding kebajikan itu sendiri.”

Maksudnya: “Kebajikan itu sebenarnya terpuji, dan keburukan itu tercela. Namun sepanjang seorang hamba dalam berbuat kebajikan masih melihat kebajikannya, maka ia berada di medan pamer dan kebanggaan. Dan sepanjang hamba dalam keburukan, namun ia masih melihat keburukan itu, berarti ia berada di medan remuk redam dirinya dan merasa sangat butuh padaNya. Padahal kondisi hamba dalam situasi sangat butuh pada Allah itu lebih baik.”

Abu Bakr as-Shiddiq ra mengatakan, “ Ya Allah aku mohon berlindungan padaMu dari syirik tersembunyi.” Sedangkan Rabi’ah ra, menegaskan, “Dunia telah menutupi penghuninya dari Allah swt. Seandainya mereka meninggalkannya pastilah tampak di alam malakutnya, lalu ia kembali dengan sariguna yang berfaedah.”

Sayyid Manshur ar-Rabbany ra, menegaskan, “Dengan apa sang hamba dikenal bahwa ia tidak terhijab dari Tuhannya?”. Ia menjawab, “Jika ia mencariNya dan ia tidak menuntut apa pun dariNya. Hamba menghendakiNya dan ia tidak berkehendak sesuatu dariNya. Dan Dia tidak memilih, karena menyerahkan pilihan padaNya, walau pun dipilihkan neraka oleh Allah swt. padanya.”

“Setiap orang yang di dalam hatinya tidak ada penetrasi Kharisma Ilahi, tidak ada cahaya cinta padaNya, tidak ada kemesraan kebersamaan denganNya, maka ia terhijab.” Tandasnya.

Katanya pula:

* Cukuplah buatmu ma’rifat itu, manakala engkau tahu bahwa Allah swt memandangmu. Dan cukuplah ibadah itu, bila Allah swt itu tidak butuh padamu.
* Cukuplah cinta itu bagimu, jika engkau tahu bahwa CintaNya mendahului cintamu padaNya.
* Cukuplah dzikir bagimu, bahwa DzikirNya mendahului dzikirmu.
* Hati ketika dilanda Kharisma Ilahi, segala hal berbau syahwat sirna.
* Ketika hati di hamparan ma’rifat, segala hal kealpaan sirna.
* Hati ketika didudukkan pada tempat Ketunggalan dengan Tunggal bagi Yang Tunggal, itulah tempat duduk yang benar.
sumber : http://delisufi.blogspot.com