Dunia remaja adalah salah satu objek kajian yang selalu mendapat perhatian dari banyak kalangan. Kita tentu prihatin ketika melihat pemberitaan di berbagai media tentang remaja yang bergaul bebas, mengumbar syahwat atas nama cinta, menjadi pengedar dan pengguna narkoba, dan masih banyak lagi problem remaja di era modern ini. Padahal remaja seharusnya tumbuh dengan cinta yang positif dan produktif. Permasalahan remaja yang terjerumus ke dalam dunia percintaan yang mengarah kepada seks bebas disebabkan banyak hal, salah satunya adalah adanya legitimasi bahwa remaja merupakan sosok yang labil dan berada pada masa pencarian identitas. Sungguh hal ini tidaklah tepat, karena faktanya, ada juga remaja yang hidupnya tertata baik dalam nilai agama dan moral.
Remaja vs Pemuda
Masa remaja adalah satu fase dalam siklus perkembangan manusia yang banyak dibahas oleh para ahli psikologi Barat. Secara umum dikatakan bahwa masa ini adalah masa yang penuh gejolak, masa yang bergelimang dengan kegalauan, kebimbangan dan ketidak jelasan. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak dan tidak termasuk golongan dewasa atau tua (Monks dkk,1992). Oleh para ahli dikatakan bahwa remaja berasal dari kata latin adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan pisik (Hurloc,1992). Pendapat lain mengatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak kepada masa dewasa, yang dimulai sejak masa terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun yaitu menjelang masa dewasa muda (Soetjiningsih.2004:45).
Namun, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara pandangan para ahli di Barat dengan konsep Islam. Barat menilai masa remaja tidak memiliki tempat yang jelas. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak kanak ke dewasa muda yang cenderung berperilaku negatif. Karena itu dalam paradigma Barat, remaja yang bermasalah dianggap wajar dan biasa akibat masa pubertas tersebut. Sedangkan ajaran Islam tidak pernah menjustifikasi dan meligitimasi adanya penyimpangan moral atau perilaku negatif, termasuk di kalangan remaja. Islam memposisikan umur sebagai suatu fase pertumbuhan atau tahapan kehidupan manusia yang sangat potensial untuk penanaman nilai-nilai kebaikan. Al-Quran memberi penjelasan tentang fase kehidupan manusia surat Al-Mukmin ayat 67. “ Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang ( anak), kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai (tua), di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).”
Ayat tersebut memberi pengertian bahwa secara garis besar fase manusia selama hidup dibagi menjadi tiga fase, yaitu masa anak-anak, dewasa dan tua. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Mahdi Bin Abud bahwa Islam membagi kualifikasi jiwa ( nafs) manusia berdasarkan fase usia, yaitu, Nafs nabatiyah (janin), nafs hayawaniyyah (usia kanak-kanak),dan nafs insaniyah (fase dewasa). (Muhammad izzuddin.2006:101). Jadi dalam perkembangan jiwa manusia menurut konsepsi Islam tidak dikenal adanya fase remaja yang menjadi fase pertengahan antara usia kanak-kanak dan dewasa. Apalagi jika fase pertengahan tersebut (baca remaja) dikaitkan dengan hal-hal yang cendrung negatif dan destruktif.
Problematika Cinta
Potensi ketertarikan pada lawan jenis merupakan insting biologis (garizah) yang dibawa sejak lahir. Potensi ini mulai aktual ketika hormon seksual diproduksi oleh tubuh di usia baliqh yang ditandai dengan perubahan pisik dan psikhis. Kecederungan ini adalah karunia Allah kepada manusia dalam rangka melanjutkan kehidupan ummat manusia..(lajnah pentashhihan.2012:11-12)
Dalam sudut pandang Islam, jika seorang anak telah sampai pada taraf kematangan (muturation) secara seksual disebut baliqh. Masa baliqh ini adalah ketika seseorang telah sampai pada taklif dan yang telah mencapainya disebut mukallaf, yaitu orang tersebut telah dibebankan kewajiban syar’i kepadanya. Mulai saat itu seorang anak disebut dewasa karena ia harus mempertanggungjawabkan setiap amal perbuatannya kepada Allah. Apabila ia berbuat baik maka akan diganjar dengan pahala, sebaliknya jika berbuat salah, maka ia akan mendapat balasannya di dunia maupun di akhirat.
Islam memberi lampu hijau untuk melakukan pernikahan setelah masa baligh ini. Selain karena sudah masa taklif, ia dianggap sudah mampu berpikir matang dan dapat membedakan baik dan buruk. Pernikahan untuk menjaga diri dari perbuatan zina atau seks bebas merupakan hal yang dipandang baik dalam ajaran Islam.
Dalam hadist disebutkan : “Wahai para pemuda, siapa diantara kalian telah memiliki kesanggupan berumah tangga maka hendaklah ia menikah, karena hal itu dapat embatasi pandangan dan memelihara kehormatan, akan tetapi jika ia belum mampu melakukannya maka hendaklah ia berpuasa karena hal itu dapat menjadi perisai (HR.Bukhari Muslim)
Kata pemuda / syabaab dalam hadist tersebut diartikan sebagai seorang yang sudah mencapai usia baliqh dan belum mencapai 30 tahun (Abdurrahman,Ad-Dibaaj:8). Kematangan secara seksual memang menimbulkan dorongan syahwat untuk beraktifitas yang mengarah kepada kegiatan reproduksi. Hal inilah yang mendorong manusia menuju kehinaan apabila hasrat tersebut disalurkan secara bebas tanpa melalui pernikahan yang sah. Jika sang pemuda tersebut belum mampu menikah maka Islam menganjurkan untuk memperbanyak puasa (tidak makan dan minum) serta menahan diri dari hal-hal yang mengarahkan kepada rangsangan syahwat.
Di jelaskan Dalam al-qur’an surah an-nisa’: 28. Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan manusia dijadikan bersifat lemah. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukan bahwa manusia pada dasarnya lemah terhadap godaan seksual dan tidak ada sesuatu yang paling lemah yang dimiliki oleh manusia kecuali urusan seksual (lajnah pentashhihan.2012: 15)
Kelemahan tersebut dimaknai sebagai problem manusia yang memiliki potensi untuk melampiaskan nafsu seksualnya secara tidak sah dengan dalih ketertarikan dan cinta kepada lawan jenisnya. Dalam sejarah juga ditemui berbagai macam penyimpangan perilaku manusia karena tidak mampu menahan nafsu seksualnya. Wajar jika al-qur’an mengatur sedemikian rupa masalah cinta dan seksualitas ini sesuai dengan fitrah manusia. Betapapun besarnya dorongan syahwat dan gejolak cinta dalam diri manusia, Islam tetap mengharamkan hubungan percintaan diluar pernikahan.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa cinta terbentuk dari dua perkara : yaitu menganggap baik sesuatu yang dicintai dan ingin mendapatkan serta menemuinya, Apabila salah satu dari dua unsur ini tidak terpenuhi maka tidak ada yang namanya cinta dan kerinduan. Pembahasan mengenai alasan dan sebab-sebab cinta akan melelahkan banyak orang. Sebagian orang bahkan membicarakannya dengan pembicaraan yang tidak layak untuk disebut sebagai kebenaran. Cinta memang terbagi beberapa jenis. Namun cinta yang paling baik dan mulia adalah cita kepada Allah swt sehingga cinta ini mengharuskan kita mencintai apa yang dicintai Allah swt. (Ibnu Qayyim, 2008:310). Siapakah yang dicintai Allah dan kitapun mencintainya? Mereka adalah al-muhsiniin (orang-orang yang berbuat baik), al-muqsithiin (orang orang yang adil) al-mutawakkiliin (orang-orang yang bertawakkal), al-mutathahhiriin (orang-orang yang mensucikan diri), at-tawwabiin (orang-orang yang bertaubat, dan orang orang yang jihad fii sabililah (berperang dijalan Allah).
Sesungguhnya ruang lingkup cinta dalam Islam sangatlah luas jika dibandingkan dengan cinta syahwat yang terbatas fisik dan materi. Islam juga telah memberi solusi terhadap penyaluran cinta ketika seorang anak mulai baliqh. Islam menghendaki manusia untuk saling mengenal, saling menolong dan melengkapi, tujuannya tak lain adalah menuju ketakwaan. Bukan berkenalan dan bergaul tanpa batasan syariat sehingga para pemuda muslim salah dalam memaknai cinta dan terjebak dalam cinta terlarang. Tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan figur para pemuda pada masa kejayaan Islam yang telah berjuang dengan jiwa dan raga untuk Islam karena terdorong oleh rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasulullah.
Oleh : Sabriati Aziz, M.Si
Wasekjen Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia