Seorang tokoh yang dulunya terkenal sebagai “Berandal Lokajaya”,
dan kelak dipanggil Sunan Kalijaga, adalah salah satu dari sembilan wali
(Wali Songo) yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa secara
pesat—bahkan meluas hingga ke penjuru Nusantara. Beliau lahir pada tahun
1450 M sebagai putera dari seorang Bupati Tuban, Tumenggung Wilatikta,
dengan nama asli Raden Sahid.
Namun seiring
perjalanan hidup, banyak masyarakat dari daerah yang berbeda yang
mengenal Sunan Kalijaga dengan julukan-julukan tertentu. Beberapa di
antaranya; Syeikh Melaya, Lokajaya (ketika di Hutan Jatisari), Raden
Abdurrahman, Pangeran Tuban, Ki Dalang Sida Brangti (di Pajajaran), Ki
Dalang Kumendung (di daerah Purbalingga), Ki Dalang Bengkok (Tegal), dan
Ki Unehan (di Majapahit).
Pada mulanya, di
usia remaja, Raden Sahid tumbuh menjadi jagoan ilmu silat tetapi semakin
nakal. Raden Sahid muda suka melakukan tindak kekerasan semena-mena,
bertarung, dan merampok.
Karena itulah Raden
Sahid diusir oleh keluarga, sehingga melanjutkan bertempat tinggal di
Hutan Jatisari dan masih merampok kalangan ningrat yang melewati jalur
tersebut untuk dibagikan kepada kalangan rakyat jelata. Dari situlah
julukan Lokajaya tenar (Yudi Hadinata, Sunan Kalijaga, 2015).
Sampai
suatu ketika, Raden Sahid bertemu dengan Sunan Bonang, dan merampas
tongkatnya yang berdaun emas. Sunan Bonang justru terharu, sambil
menasehati Raden Sahid yang masih muda, tentang tindakannya yang seakan
berniat suci, tetapi dilakukan dengan cara yang kotor. “Bagai wudlu’
menggunakan air kencing”, ungkap Sunan Bonang.
Maka
sebelum meninggalkan Raden Sahid, dengan sedikit rasa iba Sunan Bonang
pun mengubah buah kolang-kaling, yang masih di pohonnya, menjadi emas
seluruhnya. Seketika itu juga Raden Sahid mengikuti sosok yang baru
dijumpainya tersebut, karena ingin berguru ilmu kesejatian kepadanya.
Dengan
bekal ilmu silat dan jiwa yang tangguh, Raden Sahid akhirnya
mempelajari banyak ilmu dari Sunan Bonang. Seperti kesenian, kebudayaan
masyarakat lokal, yang membuatnya memahami dan menguasai kesusastraan
Jawa, pengetahuan falak, serta ilmu pranatamangsa (pembacaan cuaca).
Bahkan ilmu-ilmu ruhaniah dalam ajaran Islam juga beliau selami sampai
diangkat menjadi wali di Tanah Jawa.
Setelah
mendapatkan gelar Sunan Kalijaga, beliau disarankan oleh Sunan Bonang
agar pergi haji, mengunjungi Ka’bah di Mekkah. Namun pada perjalanannya,
saat tiba di wilayah Malaka, beliau bertemu dengan guru-guru lainnya,
yakni Maulana Maghribi dan Nabi Khidir.
Kemudian
Sunan Kalijaga disarankan untuk kembali ke Jawa dan berdakwah di sana.
Daripada sekadar melihat Ka’bah bikinan Nabi Ibrahim secara zhahir, yang
justru akan rentan menjadi berhala di hati jika terus terbayang-bayang,
alangkah baiknya engkau ajarkan ilmumu kepada masyarakat di Tanah Jawa,
begitu nasehat dari guru barunya.
Sunan
Kalijaga menuruti kembali ke Jawa dan memutuskan untuk mengawali dakwah
di daerah Cirebon, tepatnya di desa Kalijaga, untuk mengislamkan
penduduk sekitar, termasuk Indramayu dan Pamanukan.
Model
dakwah beliau dalam menumbuh-kembangkan nilai-nilai keislaman di Jawa,
lebih banyak dilakukan melalui pendekatan seni dan kearifan budaya lokal
(local wisdom). Meski tidak hanya itu saja yang dijadikan oleh beliau sebagai media dakwah.
Sunan
Kalijaga juga diketahui menyumbangkan banyak ide; seperti perancangan
alat-alat pertanian di masyarakat, design corak pakaian,
permainan-permainan tradisional untuk anak-anak, pendidikan politik dan
sumbangsih bentuk ketatanegaraan yang baik di kalangan elit kerajaan
pada masa itu (Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo, 2016).
Berbagai
kisah dan peninggalan sejarah, baik yang berupa manuskrip naskah
(serat), tembang-tembang, gubahan puitis, falsafah, rancangan beserta
lakon wayang kulit, formasi alat-alat gamelan, sampai tutur cerita lisan
mengenai Sunan Kalijaga, telah tersebar luas dan tidak lekang oleh
waktu dari masa ke masa.
Kelanggengan ajaran
dan jasa beliau tersebut tidak lain adalah karena ketekunan,
keistiqamahan, dan kebijaksanaan Sunan Kalijaga dalam berdakwah dengan
cara yang halus, santun, toleran dan tanpa paksaan sama sekali.
Suro Diro JayaningratLebur Dening Pangastuti
“Segala sifat keras hati, picik, sok kuasa dan angkara murka, hanya bisa dileburkan oleh sikap bijak, lembut hati, dan sabar.”
-Falsafah Sunan Kalijaga-
Mengenang
masa mudanya sendiri yang berontak terhadap kekuasaan kalangan elit dan
kemelaratan suatu kaum, Sunan Kalijaga menyadari sesuatu, bahwa untuk
menyebarkan nilai-nilai budi pekerti luhur (akhlaqul karimah) kepada masyarakat Jawa, tidak bisa dilakukan dengan cara kekuatan, apalagi paksaan.
Beliau
mempelajari watak dan budaya penduduk sekitar, kalau mereka adalah
tatanan masyarakat yang mudah lari jika dipaksa untuk mengikuti sesuatu
yang baru bagi mereka. Tetapi mereka suka dengan kesenian, keramahan,
dan nilai-nila luhur yang serupa.
Sunan
Kalijaga pun merancang pendekatan yang sesuai dengan penduduk Jawa,
yaitu akulturasi budaya. Dengan menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam
segi-segi budaya lokal, Sunan Kalijaga berharap mutiara agama Islam
dapat hidup menyala terang secara abadi di hati masyarakat
selama-lamanya.
Urip Iku Urup:
“Hidup
itu nyala. Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain di
sekitar kita. semakin besar manfaat yang bisa kita berikan, tentu akan
lebih baik.”
-Falsafah Sunan Kalijaga-
Sepanjang
usianya yang diperkirakan 131 tahun, beliau tidak habis-habisnya
berjuang dengan berkeliling ke berbagai daerah demi pengajaran
nilai-nilai kemanusiaan—dengan berbagai kelengkapan dimensinya—kepada
masyarakat. Dapat kita saksikan betapa cerdas dan bijaknya beliau dalam
melakukan pertunjukan wayang keliling yang digemari masyarakat desa, dan
tiketnya bukanlah memakai uang atau barter, melainkan dua kalimat
syadahat.
Kebijaksanaan, keluhuran
budi-pekerti, tawakkal dan kewaskitaan ilmu batin beliau tanamkan
melalui hal-hal yang seakan dipandang sepele, tetapi mampu bertahan lama
melintasi berbagai zaman. Mulai dari fase akhir kerajaan Majapahit,
Demak, Pajang, hingga masa awal Mataram.
Beliau
juga merupakan salah satu wali yang memiliki banyak karomah dan
keistimewaan. Keistimewaan beliau yang utama adalah keluasan jiwa,
toleransi dan tenggang rasa yang tinggi. Dan dengan keistimewaan dan
sosok beliau yang multitalenta itulah yang menjadikan Islam hidup dan
mengakar di Bumi Nusantara.
Dakwah beliau tidak
hanya menyentuh kalangan elit saja, melainkan juga menjangkau
masyarakat yang terpinggirkan di pelosok-pelosok. Dari kalangang ningrat
hingga rakyat yang melarat. Dewasa maupun kanak-kanak. Tidak pandang
mulai dari para bromocorah, preman, berandalan, hingga para bangsawan
dan pejabat tinggi pemerintahan.
Kepada
semuanya beliau tetap berlaku sama, egaliter dan toleran. Penuh kasih
sayang dan mengayomi. Mendidik dan membimbing secara lemah lembut. Tetap
perlahan dan penuh kesabaran. Sunan Kalijaga meneladani itu semua dari
sang junjungan, Nabi Muhammad SAW.
Memayu Hayuning BawonoAmbrasto Dur Hangkoro
“Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan di muka bumi (rahmatan lil-‘alamin).
Serta memberantas angkara murka, serakah, dan tamak dalam dirinya.”
-Falsafah Sunan Kalijaga-
Penulis adalah pemuda asal Mojokerto, alumni CSSMoRA UIN Sunan Gunung Djati prodi Tasawuf Psikoterapi angkatan 2013. Aktif menulis esai dan sastra dengan nama pena “Madno Wanakuncoro”
Oleh M. Naufal Waliyuddin